cerpen

Bayiku Genta

Malam semakin larut, tak ada suara jengkrik atau serangga malam yang dapat menambah semarak malam. Malam di sini semakin mati. Sejak pembangunan merambah ke desa ini. Pembangunan itu seperti gurita raksasa yang sedang tumbuh. Semakin lama tangan-tangannya semakin panjang membentang.

Di sebelah barat desa, ada sebuah hutan bambu. Di sana juga terdapat sungai yang mengalir jernih. Dulu sering ia ke sana melepas lelah. Sering pula ia mengajak Siti, sebelum mereka menikah. Tempat itu adalah saksi cinta mereka, berkembang dan berbunga hingga ranum berbuah manis.

Hutan bambu kini sudah tidak ada lagi, sungai yang dulu jernih telah menjadi kanal besar dengan pipa raksasa yang setiap saat membuang cairan hitam. Lahan yang dulu penuh batang-batang hijau menjulang menusuk langit, digantikan dengan tulang-tulang beton pencakar langit.

Suatu malam ketika tulang tua itu tengah letih setelah mengangkat semen dan bata proyek kantor sewa berlantai enam, lelaki uzur itu bermimpi. Mimpi yang aneh. Dalam mimpinya ia melihat Siti. Mendiang istrinya di hutan bambu. Ia terlihat cantik, waktu tidak lagi melahap usia dan tubuhnya. Matanya berbinar, tapi bukan bahagia. Ketika melihat lelaki papah dengan kaos usang dan kumal itu, ia paksakan tersenyum.

Ingin rasanya lelaki ringkih itu memeluk lalu menciumnya seperti yang pernah mereka lakukan di tempat itu. Ingin rasanya ia katakan, lelaki tua dan uzur ini masih mencintainya sama seperti dulu. Tak kurang.

Tapi lelaki itu beku…ia merasa seperti boneka yang terpajang di etalase. Dan isrinya hanya menatap sayu. Lelaki itu teringat akan tatapan yang sama ketika ia melihat satu set perlengkapan bayi di toko. Ia ingin memilikinya untuk calon bayi yang tak pernah mereka dapatkan

Dalam diam itu, dunia berputar di sekelilingnya, lalu menelan Siti bersama seluruh rindu di matanya. Lelaki dengan keriput di seluruh tubuhnya terbangun dengan keringat berkucuran. Tiba-tiba saja merindukan segala yang ada di masa silam. Hutan bambu, gemericik air sungai, kunang-kunang….dan Siti yang berumur 19 tahun, juga calon bayi mereka di rahimnya….

***

Matahari baru saja terbit ketika Narso meninggalkan rumah menuju tempat kerja. Di lokasi proyek tengah riuh mesin molen raksasa serta pengentak diesel Delmak sibuk memekakan telingan orang-orang dalam radius beberapa puluh meter.

Narso kemudian mencari pak Ilman. Lelaki 60 tahun, kuli harian di pembangunan kantor sewa ini. Hari ini Narso sangat ingin menemuinya. Ia temukan lelaki uzur itu tengah mendorong sebuah gerobak berisi tiga sak semen menuju mesin molen. Lega manghampirinya begitu melihat pak Ilman sehat. Beberapa hari yang lalu ia mengeluh sesak napas pada Narso. Tapi ia menolak diajak kedokter, meskipun biayanya Narso yang tanggung. Sebagai mandor, Narso bertanggung jawab atas pekerjanya.

Dengan dana dan tenaga yang cukup besar, proyek akan rampung enam bulan lagi. Karena itu Narso telah menerima kontrak baru di kota sebelah. Rencananya Narso akan mengajak pak Ilman dalam proyek itu. Terus terang saja Narso sedikit mengkhawatirkannya, ia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi dan mulai sakit-sakitan. Bagaimana kalau ia tidak menemukan tempat kerja setelah proyek ini rampung. Di mana ia akan tinggal dan mendapat uang untuk makan. Telah ia putuskan akan mengajaknya bicara pada jam makan siang nanti.

Tentang pak Ilman, lelaki ringkih berkulit gelap itu telah menarik perhatian sang mandor ketika pembangunan lantai tiga rampung. Saat makan siang, ia malah menyendiri di atas bangunan yang baru saja rampung. Karena penasaran, sang mandor menghampiri dan mengajaknya ngobrol. Ternyata ia berada di ketinggian tempat ini untuk mengamati sebuah kanal besar di belakang bangunan.

“Dulu itu adalah sungai yang sangat jernih dan bangunan ini adalah hutan bambu yang telah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya pada sungai tersebut” matanya menerawang pada puluhan tahun silam. Ilman Suryanto, lelaki uzur dengan segala bayang masa lalu di matanya.

“Hanya itu yang membuatku bertahan seorang diri. Semangat hidup belasan tahun silam masih bisa kupinjam saat aku mulai berfikir untuk menghabisinya”, kepulan asap kretek menghempas wajahnya berkali-kali. Sejak saat itu hampir satiap jam makan siang mereka ngobrol di lantai teratas bangunan. Banyak cerita dan nasehat Narso dapatkan dari pria tersebut.

***

Saat makan siang ia temukan lelaki rimgkih itu di lantai teratas. Dihampirinya dan ia sodorkan nasi bungkus yang disediakan untuk para kuli. Sedangkan Narso membawa kotak makan siang buatan istrinya yang tengah hamil delapan bulan. Seperti biasa ia mulai bercerita tentang sungai di belakang proyek, serangga malam, juga hutan bambu yang menyimpan harta karun kehidupannya. Tidak lupa, tentang Siti, mendiang istrinya dan calon anak mereka di rahimnya. Kenangan begitu banyak menyimpan energi untuk pria tua itu melanjutkan hidup.

Sang mandor menahan diri dari larut kisah silam dan diputuskannya untuk bercerita tentang keinginannya pada proyek pembangunan ruko di kota sebelah. Meskipun ini proyek kecil tapi Narso menjamin kelangsungan hidup lelaki yang saban siang itu menemaninya. Ia hanya tersenyum lalu berkata

“Tuan tahu? Di sinilah aku menemukan cinta pertama, saat itu usiaku baru sepuluh tahun dan ia delapan tahun. Di sinilah kami bermain dan sepuluh tahun kemudian aku melamarnya”, sesaat ia tersenyum

“Ketika aku tahu hutan bambu ini akan tersentuh jari-jari pembangunan aku menempuh berbagai cara agar tetap bertahan di sini . Bahkan untuk menjadi seorang kuli dengan penghasilan sepuluh ribu perhari tak jadi soal bagiku,”. Ia tidak perlu bercerita panjang untuk membuatku mengerti keinginannya.

***

Teriakan seorang perempuan dari dalam kamar bersalin menyadarkan Narso dari lamunan. Tubuhnya bergetar, dingin menyergap. Kakinya lesu tak mampu lagi menopang tubuhnya, Narso terjatuh ke lantai dengan keringat yang mengucur di seluruh tubuh. Narso membayangkan wajah istrinya yang kesakitan ketika geliat manusia baru akan memasuki gerbang dunianya. Narso membayangkan wajah pak Ilman yang tubuhnya baru saja ditemukan tewas di tempat proyek. Orang-orang di tempat proyek panik, berbagai isu dan cerita tersebar di antara para buruh. Dokter bilang lelaki itu kehabisan napas, penyakit asma tidak cocok dengan tempat yang berdebu seperti lokasi proyek. Narso ingat wajah terakhir pak Ilman ketika ia bercerita tentang istri dan calon bayi mereka.

Wajah itu terus terbayang bergantian dengan wajah istrinya yang tengah menjerit kesakitan. Dua wajah itu perputar putar di kepala Narso. Jeritan demi jeritan dari kamar bersalin melengking tajam. Tubuhnya menggigil. Belum kering keringat yang ia bawa dari pemakaman pak Ilman. Narso tidak berani membayangkan akan menggendong bayinya dalam aroma pemakaman yang kental. Ia tidak ingin ketika pertama kali menghirup udara, bayinya hanya menghirup aroma kematian.

Narso ingat sehari sebelum pak Ilman beku dalam makam, ia bercerita tentang Siti, wanita yang selalu meminjamkan semangat hidup untuknya. Kali itu ia bercerita tentang harapannya bertemu istrinya, seolah ia seorang remaja yang baru saja menerima surat cinta dari gadis pujaannya. Saat itu ia berkata mungkin saja semangatnya rimbul mendengar istri sang mandor akan melahirkan bayi pertamanya. Ia sangat antusias, ia mulai lagi bercerita tentang calon bayinya di rahim Siti.

“Bila kami benar-benar akan memilikinya, aku akan memberinya nama Genta. Itu adalah bumi, aku ingin ia kelak seperti bumi. kelihatan pasif dan gejolaknya hanya untuk menyeimbangkan alam, ya...gejolaknya hanya tamparan ringan yang harus di perhitungkan menusia”.

Narso tersadar dari lamunannya ketika sekali lagi terdengar jeritan dan suara tangis bayi dalam kamar bersalin.

“Ya, tuhan bayiku lahir.” Batinnya. Lega dan bangga mengalir dari setiap inci tubuhku.

“Bayi yang kami nantikan selama lima tahun kini hadir dan akan membelah sepi rumah dengan tangisannya.” Kembali syukur ia ucap. Narso mendengar suara tangis itu begitu keras, hebat tangisan yang lantang.


“Bayiku mengaum seperti singa.” Narso segera bangkit dan menerobos masuk sebelum dokter keluar dengan seragam hijau penuh darah istrinya

“Selamat bayi anda laki-laki” dokter memeluk erat lelaki yang baru saja menyandang ayah. Dihampiri istri dan bayinya. Suster memberikan manusia kecil itu kepada Narso, ia beranikan diri menerima manusia kerdil kemerahan dari gendongan sang suster. Ada ragu merangkul tulang bayinya yang masih lembek. Makhluk kecil itu lelap dalam dekapan ayahnya setelah suara azan di bisikkan pelan ketelinga mungilnya. Sesaat terlintas aroma pemakaman yang menempel di tubuhnya.

Pelan menyudahi azan Narso kembali berbisik “Namamu Genta, apa kau suka aroma tanah dari tubuh ayahmu nak?”.


Pagi-Pagi Duka

Pagi itu, langit tidak memberi tanda bahwa akan turun hujan. Sesaat sebelum rintik dari langit itu turun, tiga orang berseragam polisi datang mengetuk rumah. Mereka datang membawa sebuah surat resmi dari kepolisian. Di bawah lambang serupa sayap garuda , tertulis pemberitahuan hasil penyelidikan, dibaliknya ada lagi selembar kertas. Hasil resmi otopsi rumah sakit.
Dengan nada datar, seorang di antaranya yang memiliki badan paling tinggi dan tegap meminta izin masuk dan duduk berhadapan denganku. Aku tak tahu maksudnya ketika mereka datang membawa surat tersebut. Seingatku, pernah sekali orang dari kepolisian membawa surat serupa, tiga tahun yang lalu. Surat dari malaikat maut yang mengabarkan putraku ditemukan tewas di kebun kopi desa tetangga. Anak sulung kami saat itu memang menghilang sekitar tiga bulanan, dan hasil test DNA suamiku menyatakan mayat tanpa nama yang ditemukan itu adalah putra kami.
Kembali kucermati surat yang kini ada di tanganku. Surat yang sama tertera nama putraku, tapi tanggal otopsi jelas berbeda. Masih lekat di ingatanku surat sebelumnya tertanggal 28 Agustus 2005. Surat kali ini jelas tertera tanggal, bulan dan tahun yang berbeda, waktu yang hanya terpaut tiga hari dari sekarang. Ketiga laki-laki itu masih terdiam. Aku tersenyum kecut menatap ketiganya.
“Bapak pasti salah,”
“Itu yang ingin kami cari tahu ke ibu,”
“Anak kami sudah meninggal tiga tahun yang lalu, itupun melalui surat yang sama kami terima,”
“Hasil DNA dari mayat yang ditemukan di belakang rumah penjagal itu sesuai dengan DNA suami ibu tiga tahun yang lalu. Tersangka juga mengaku membunuh dan menanam mayat tersebut tiga tahun yang lalu, tepat seperti laporan kehilangan ibu di tahun yang sama,”
Aku membatu. Dinding di ruang tamu seketika mengecil, semakin kecil sehingga menghimpit tubuhku. Aku menjerit memanggil suamiku, sesaat sebelum dunia menghilang dari pandanganku dan aku tak tau apa-apa lagi.
***
Aku terbangun dengan suamiku di sampingku. Ia duduk di pinggir ranjang menatapku cemas. Matanya merah dan sembab. Tanganya meraih pundakku, membangunkanku bersandar di pembaringan sebelum ia memelukku. Begitu kuat hingga dadaku sesak. Pundaknya bergetaar kuat dan isak tangisnya membasahi pundak belakangku. Sesekali air matanya menetes di leherku, mengalir dingin dan beku hingga punggung. Aku menggigil.
“Mayat di kebun kopi itu,…anak kita bu, anak kita meninggal,” kata-kata itu berulang di telingaku. Berat dan tersendat dikerongkongan lelaki yang sudah tiga puluh tahun menikahiku.
Aku membeku, saat terbayang tubuh dingin yang sudah membengkak itu di ingatanku. Wajahnya tak lagi kukenali. Ia terbaring kaku membujur di bawah pohon kopi dengan buahnya yang memerah, semerah darah di wajah anakku yang tersayat. Terlalu banyak sayatan hingga aku, ibu yang melahirkannya tak dapat mengenalinya.
Tanganku ragu meraih pundak suamiku yang masih gemetar, membalas pelukannya dengan menggigil. Tubuh kami saling bergetar, tak mampu memberi kekuatan agar tabah. Tangis kamipun meledak hingga orang-orang di sekitar kami harus memberi pelukan yang sama agar kami bisa lebih kuat. Kami tenggelam diantara orang-orang yang turut berduka.
Di atas jalanan tanah merah, aku mengikuti iring-iringan keranda putraku menuju pemakaman desa. Semua orang datang dengan kerudung dan pakaian hitam. Semua berduka atas putra kami. Aku kosong menatap keranda di hadapanku. Dulu dia takut gelap, kadang memintaku atau ayahnya menemainya sebelum tidur. Kali ini kau harus menghadapi gelap itu sendiri.
Aku ingat, pagi itu tiga orang dari kepolisian memintaku ke ibu kota melakukan tes DNA untuk memastikan mayat di kebun kopi itu adalah kau. Aku begitu takut hingga tak ingin tahu itu kau atau bukan. Sebab bagiku lebih baik membayangkan kau sedang di jalanan berusaha untuk tetap hidup atau mabuk bersama teman-temanmu dari pada harus menerima kenyataan kau terbaring kaku berhari-hari di bawah pohon kopi sesaat setelah ajal menjemputmu. Tapi ayahmu berkata lain, laki-laki selalu saja dipenuhi rasa ingin tahu. Aku terlalu takut hingga ayahmu memutuskan pergi sendiri untuk melakukan tes tersebut. Lihatlah hasil dari semua itu anakku, kita dipertemukan dalam upacara sakral pemakamanmu. Pembunuhmu tidak juga ditemukan tapi kita telah dipertemukan dalam kelam aura kematian.
Keranda itu diturunkan tepat di liang pembaringan terakhirmu. Aku masih kosong manatap tubuh dibalut kain putih itu perlahan di turunkan. Untuk terakhir kalinya, penutup wajahmu di buka untuk mencium tanah lembab pemakaman. Dapatkah kau mencium aromanya, anakku? Lembab dan anyir, kurasa semua tanah pekuburan seperti itu, sebab setiap hari ia dibasahi air mata duka orang-orang yang berkabung. Rasanya asin dan pedih seperti tangis.
Papan itu telah ditutupkan di atasmu. Tanah perlahan dijatuhkan, tabahlah anakku ruangmu akan semakin gelap. Seraya liang itu berubah menjadi gundukan di depan nisan bertuliskan namamu, dunia di hadapanku mulai menghilang perlahan. Rasannya semakin gelap hingga semua lenyap dan sepi. Akupun terjatuh tanpa sempat menaburkan bunga di gundukan tanah berisi jasadmu.
***
Aku terbangun dengan suamiku duduk di sampingku. Matanya merah dan sembab. Ragu ia menangkap amarah di mataku. Nafasku terpenggal-penggal. Tanpa dibantunya aku bangkit dan duduk di pembaringan. Tak seorangpun berada di kamar selain kami berdua. Pintu kamar tertutup rapat. Kali ini lelaki itu tidak memelukku seperti yang dia lakukan tiga tahun yang lalu. Ia bahkan tidak berani menatap mataku.
“Yang mana diantara kedua mayat itu anak kita, yah?’, ada sesuatu di kerongkonganku yang menggondok. Suaraku tertahan seolah ada kerikil yang tumbuh di leherku.
Lelaki itu terdiam. Kedua tangannya dia silangkan di dada, seperti memeluk dirinya sendiri. Dia menggigil, entah dingin dari mana ia dapat, tubuhnya bergetar.
“Tak ada yang tahu sampai ibu sendiri yang melakukan tes DNA…”, kata-kata lelaki yang menyematkan cinci kawin di jari manisku itu terpotong. Ada duka yang rasanya ingin ia bagi bersamaku. Sama seperti tiga tahun yang lalu. Tapi tidak, bagiku tak ada duka yang sama untuk kedua kalinya.
“Selama ini kau berbohong padaku…bagaimana mungkin aku berduka untuk anak yang belum pasti milikku!!! Kau selalu saja mengelabuiku…kau memaksaku menangisi anak pelacur yang kau hamili..”, aku menjerit, pedih yang terasa semakin besar saja setiap menatap lelaki di hadapanku. Seluruh tubuhku berguncang hebat tanganku hanya mampu memukul-mukul dada suamiku tanpa ia merasa sakit. Tenagaku hilang, mengutuki semua yang terjadi. Aku rapuh dalam isak tangis yang membuatnya semakin parah.
“Berhentilah mengutuk…ini karma untuk kita, bu. Kau kehilangan satu anakmu karena nyawa anak lain yang ingin kau singkirkan, tapi aku…aku kehilangan keduanya, bu…aku kehilangan keduanya…”, Kata-kata itu terus berulang di telingaku. Aku tak kuat menutupinya dengan tangis dan jeritan.
***
Pagi itu, gerimis mengguyur perkampungan. Sejak semalam angin memang bertiup kencang. Kupikir akan turun hujan deras hingga pagi ini hanya rintik kecil air jatuh dari langit. Aku menatap tajam ke arah perempuan di hadapanku. Perempuan itu tertunduk menatap perutnya yang menyembul dari dalam daster, sesekali tangannya mengelus pelan perut tersebut. Sama seperti yang bisa ku lakukan sejak kehamilanku memasuki usia ke empat.
Di antara kami, suamiku duduk diam dengan kedua tangan di atas paha. Jari-jarinya saling menyilang satu sama lain. Sesekali kedua ibu jarinya saling menggesek. Ia tampak gugup dan ragu memulai pembicaraan di antara kami bertiga. Sesekali ia menghapus peluh di keningnya.
“Isinya sekita sepuluh juta, cukup untuk mengugurkan kandunganmu dan melupakan suamiku.”, kataku perlahan sambil mengusap perutku yang juga menyembul di balik sarung batik yang melingkar menutupinya. Kusodorkan sebuah amplop coklat di hadapan perempuan yang tidak ingin kuketahui namanya, sambil menatap wajah suamiku dan perempuan itu secara bergantian.
Perempuan itu meraih amplop di hadapannya. Tanpa membuka amplop tersebut langsung di masukkan ke dalam tas kecil di sampingnya. Ia beralih menatap suamiku. Ada rasa yang tidak dapat ku ungkap diantara keduanya, tapi aku terbiasa mengacuhkan dan melupakan apa yang telah dilakukan lelaki yang juga ayah dari anak yang kukandung.
Perempuan jalang yang entah berapa kali telah ditiduri suamiku itu telah pergi, tapi kebekuan antara kami belum juga cair. Hingga putra kami lahir tak pernah sekalipun kudengar kabar tentang perempuan itu atau perempuan-perempuan lain yang sempat hinggap dipelukan suamiku. Tidak pernah…

Panggilan Amanda

“Bi…apa sarapan sudah siap?”
Aku menuruni satu demi satu anak tangga. Aku rapatkan tangan kiriku memegangi kayu jati mengkilap kecoklatan sebagai penopang, sementara tangan kananku memperbaiki kerah kemeja putihku. Segera aku mengambil posisi di meja makan untuk sarapan. Tidak lama berselang bi Inah, pembantu rumah tangga yang lima belas tahun telah mengabdi kepada keluarga ini, datang membawakan segelas susu hangat.
Kalau ku pikir-pikir lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat, bi Inah sudah mengabdi selama itu. Meskipun sudah segitu lama, ada juga niat untuk menggantikannya dengan orang yang lebih muda. Toh…untuk mencari orang yang sebanding dengannya pasti tidak sulit. Tapi, mau dikasih makan apa keluarganya di kampung.
“Apa Amanda sudah bangun?”
“Non Manda sudah berangkat sekolah sejam yang lalu nyonya…”
“oh…dia sudah sarapan?” aku kembali meneguk segelas susu hangat di hadapanku.
“Sudah, nyonya…” setelah mengoleskan selai kacang di rotiku, bi Inah kembali ke dapur. Sebelum tubuh bi Inah menghilang di balik tembok dapur hand phoneku berdering.
“Halo…ada apa San?” aku menyapa Santy, sekretarisku di kantor.
“Ini bu…aku hanya ingin mengingatkan jadwal wawancara ibu dengan wartawan Media Indonesia untuk profil Woman In This Year. Mereka sudah menunggu ibu di kantor” suara wanita di seberang sana menerangkan. Ya…santy memang sekretaris yang ulet. Aku banyak di tolongnya mengenai jadwal harianku. Aku memang sedikit pelupa, tapi karena itu aku membayarnya lebih dari cukup. Makanya tidak ada hutang budi di antara kami.
“Oke San, suruh mereka menunggu setengah jam lagi, aku menuju kesana,” aku segera beranjak dari kursi dan segera memanggil Malik, supir pribadiku untuk segera mengantarku ke kantor.
***
Sesuai janji, setengah jam kemudian aku sudah berada di kantor. Dua orang wartawan yang menungguku langsung ku persilahkan masuk ke dalam ruanganku. Hawa ac terasa sejuk merangsak masuk ke pori-pori tubuhku. Setelah basa-basi sedikit mereka mulai menanyakan satu persatu mengenai karier, rumah tangga dan hubungan sosialku di luar bisnis.
Seperti pada wawancara yang lain, aku selalu menjawab dengan tenang dan sedikit diplomatis. Aku sepakat dengan sebuah ungkapan image seorang public figure di bangun dan dibentuk oleh media massa. Dan ajang pemilihan Woman In This Year akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan karierku di dunia bisnis untuk setahun ke depan. Puluhan juta pembaca akan mengenal diriku dan berbagai merk produk kecantikan yang di produksi oleh perusahaan jamu dan obat yang kupimpin. Dengan sedikit cerita yang didramatisir, aku dan perusahaanku akan mendapat simpatik dari masyarakat target konsumen kami.
Di sela-sela wawancara, handphoneku sekali lagi berdering. Kuhentikan sesaat wawancara itu untuk menengok panggilan yang secara jujur ku akui mengusik konsentrasiku. Ku dapati satu panggilan tak terjawab, pada layar handphone tertulis ‘malaikatku’. Aku tersenyum simpul. Ku perlihatkan tulisan itu kepada kedua wartawan di hadapanku.
“Ini dari gadis kecilku. Namanya Amanda, dia baru kelas tiga di SD Sudirman,” kedua pria di hadapanku ikut tersenyum. Salah seorang bahkan bertanya mengapa gadis sekecil itu harus ku izinkan menggunakan handphone. Dan singkat kubalik bertanya bukankah komunikasi antar ibu dan anak itu sangat penting. Keduanya pun mengangguk, setuju.
“Di hp anakku juga kulengkapi nomor telepon penting seperti, nomor kantor polisi, rumah sakit juga beberapa nomor gurunya. Itu hanya untuk jaga-jaga,” ungkapku. Sedikit bercanda aku juga memancing mereka untuk menyelipkan hal itu di dalam profilku nanti. Tentu saja, kalau termuat di majalah bertaraf nasional tersebut satu point plus untuk image yang aku inginkan. Sebelum melanjutkan wawancara aku me-non aktif-kan hpku. Aku tidak mau moment penting ini terganggu oleh urusan yang tidak penting.
Setelah dua jam akhirnya wawancara selesai. Kedua wartawan itu pamit. Tidak lupa aku menyellipkan beberapa lembar uang seratus ribu kedalam sebuah amplop dan kuserahkan kepada mereka. “Sekedar uang taksi” kilahku, dan mereka tentu mengerti maksudku.
Setelah kedua wartawan itu lenyap di balik pintu, aku mulai melarutkan diri pada berkas-berkas yang menumpuk untuk kutanda tangani di atas meja. Hingga berapa lama, santy masuk mengingatkan jadwalku.
“Bu…saudagar cina itu menelpon lagi, katanya hp ibu tidak aktif. Dia mau bertemu ibu jam makan siang nanti,” mendengar perkataan santy, langsung ku raih tasku untuk kembali mengaktifkan hpku. Tidak kuperhatikan lagi santy ketika wanita dengan tubuh jangkung itu keluar dari ruanganku.
Ada lima panggilan tak terjawab di layar hpku. Dua dari Ciem Li, saudagar cina yang disebut santy tadi, dan tiga dari ‘malaikatku’ Amanda. Ada perasaan berdesir di dadaku ketika mataku mengeja tiga panggilan terakhir. Tidak biasanya Amanda menelponkku. Lagi pula aku sudah katakan kalau tidak penting jangan menghubungiku, cukup hubungi Ali, supir yang selalu mengantar jemput Amanda ke sekolah atau bi Inah. Dan biasanya anak itu menurutiku, kecuali saat ini.
Aku menghitung beberapa kemungkinan mengapa Amanda tiba-tiba menelpon. Dari kemungkinan yang kudaftar, tidak satupun alasan kuat mengapa ia harus menelpon ke nomorku. Tampaknya anak itu mulai tidak patuh. Konsentrasiku buyar, sekali lagi satu panggilan dari ‘malaikatku’ berdering. Aku mulai kesal.
“Manda…bunda sudah bilang jangan menelpon bunda kalau tidak penting. Ada Ali yang bisa membantumu. Hubungi dia saja,” bentakku. Tapi dari sebrang tak ada jawaban. Hanya suara riuh anak-anak sayup terdengar. Desiran di dadaku semakin kuat. “Manda…” panggilku sekali lagi. Senyap. Tiba-tiba terdengar tangis gadis kecil dari seberang memanggil-manggil bunda. Desiran di dadaku berubah menjadi ombak galau, “Manda…jawab bunda. Manda tidak mau jadi anak nakal bukan?” tangisan itu semakin kencang, setiap panggilan bunda dari seberang mencambuk-cambuk galauku. “Amanda!” jeritku kesal bercampur resah lalu klep…panggilan terputus.
Entah…sesuatu dalam diriku secara gaib memaksaku meninggalkan kantor. Aku terpaksa membatalkan janji dengan Ciem Li, saudagar cina yang kaya raya. Energi yang sama juga menuntutku menekan nomor hp Malik dan Ali. Namun keduanya tidak akif. Ada apa ini? pikirku. Mereka pasti bersekongkol menyakiti putriku. Amanda tidak pernah menangis seperti itu. Aku melangkah tergesa dengan pikiran melayang-layang berusaha menebak mengapa kedua orang yang telah kuberi makan, tempat tinggal dan pakaian yang layak menghianatiku. Tentu yang mereka inginkan adalah uang. Seharusnya mereka tidak menempuh jalan ini, seharusnya meraka membiarkan aku bertemu dengan saudagar cina itu dan menandatangani kontrak senilai milyaran rupiah itu, lalu mereka bisa meminta bonus lebih padaku. Mereka memang bodoh.
Di dalam taksi, aku melaju menuju sekolah putriku. Sementara desiran itu masih alot di rongga dadaku. Aku juga berusaha menelpon suamiku di Singapura, namun nihil. Telponnya juga tidak aktif. Ada apa ini…apa dunia bersekongkokol untuk menghancurkanku. Tapi mengapa? Bahkan suamiku ikut dalam konspirasi ini. Aku tahu, perusahaannya terpuruk jauh dari perusahaanku dalam chart bursa saham. Tapi mengapa ia harus menyakiti anak yang kami idam-idamkan selama sepuluh tahun perkawinan kami, begitu rendahnya dia sampai harus bersekongkol dengan supir
Desiran tadi tidak lagi berupa hembusan galau, ia berubah sesuatu yang tidak lagi aku pahami. Ia menjadi sebuah energi bawah sadar tak terkendali ditengah-tengah insting keibuan yang lama tertimbun ketika aku tiba di depan sekolah putriku. Energi itu menggetarkan tubuhku, menuntut kakiku melangkah lekas masuk ke halaman sekolah. Sedikit sepi, beberapa bocah seumuran Amanda bergegas meninggalkan sekolah, sebagian dengan digandeng oleh ibu mereka. Mataku liar mencari sosok putriku di antara anak-anak yang bermain di lapangan. Di antara anak-anak yang berbelanja minuman warna-warni. Di antara anak-anak yang bercengkarama di bawah pohon. Aku tidak menemukan putriku.
Naluri itu kembali menuntunku masuk lebih dalam. Namun sekejap nanar mataku meleleh serupa sungai asin tatkala kutemukan malaikat kecilku berada dalam gendongan Ali. Supir yang berusaha menghianatiku. Aku bergegas mendorong lelaki itu dari tubuh Amanda. Putriku tersungkur, sedikit meringis ia bangkit membersihkan pantatnya dari pasir. Segera ku peluk tubuh mungil itu, berusaha agar lelaki tanggung itu tidak mendekati kami.
“Apa kau baik-baik saja sayang? Apa kau terluka? Apa orang itu menyakitimu nak?...” ku raba seluruh tubuh putriku. Kuperiksa wajah, dada, lengan dan kakinya. Berulang-ulang ku ucap syukur ketika aku tidak menemukan satupun luka yang menggores kulit putriku. Kupeluk dan kucium tubuh mungil itu. Desiran itu kini berganti menjadi haru yang tak dapat ku jelaskan..
Pada detik yang sama malaikat kecilku balas memelukku. Wajahnya keheranan, namun ada hangat yang sudah lama tidak ku rasakan. Aku terisak, sedetik kemudian tumpah menjadi tangis dalam pelukan putriku. jari-jari kecilnya mengapit wajahku dan membasuh air mataku.
“Bunda jangan nangis…Manda minta maaf, hp Manda tadi di jahili teman-teman. Manda janji, Manda tidak akan ganggu bunda…” jari-jari itu masih menyapuh pipiku. Setiap sentuhan tangannya meredakan desiran dadaku. Ada rasa nyaman yang kurasakan pada setiap kata yang keluar dari mulut mungilnya.
Mulutku bungkam…kembali kupeluk tubuh itu lebih erat. Energi gaib itu kembali mempengaruhiku, membuat sekujur tubuhku kaku. Ya, tuhan…andai kau kuatkaan aku. Aku hanya ingin berkata pada malaikat kecil yang telah kau titipkan padaku, hubungi bunda kapan saja dan di mana saja agar bunda dapat merasakan kehangatan darah yang terikat itu berdesir. Tapi tidak, kata-kata itu hanya sampai pada tenggorokan dan harus kutelan lagi. Rasanya sangat pahit, kembali tangisku tumbah dalam peluk Amanda. Hanya satu kata yang terlepas dari kerongkonanku.
“Maafkan bunda telah mengacuhkanmu sekian lama”, lalu kedua lengan itu kembali mendekapku dalam kehangatan kasih seorang malaikat.

Read More..

klik dibawah untuk panen $$$-mu

pembayaran on line